KISAH HIKMAH: PENJAGA KEBUN YANG JUJUR
Baca Juga :
Nuh bin Maryam namanya, ia merupakan seorang tokoh Masyarakat sekaligus kadi yang mempunyai kedudukan tinggi. Ia mempunyai seorang anak perempuan yang cantik jelita dan nyaris sempurna untuk ukuran seorang perempuan idaman. Lazimnya bunga desa, begitu banyak laki-laki yang ingin meminangnya mulai dari pengusaha, konglomerat dan orang-orang terpandang lainnya. Namun dari sekian banyak lamaran yang datang itu, tidak ada yang Nuh bin Maryam iyakan. Ia bingung, orang seperti apakah yang akan ia terima untuk putrinya itu.
Selain itu, Nuh bin Maryam juga memiliki perkebunan dan budak berkulit hitam yang bernama Abdullah. Suatu kali ia menugaskan budaknya itu untuk menjaga perkebunannya.
Selang dua bulan, Nuh bin Maryam mendatangi kebunnya. Penasaran dengan hasil perkebunannya, ia memerintahkan Abdullah untuk mengambil barang satu atau dua anggur untuknya.
Abdullah beranjak dan memetikkan anggur untuk tuannya. Namun naas, Anggur yang ia petik ternyata rasanya asam. Sang tuan pun kembali menyuruh Abdullah untuk mengambilkannya yang lain. untuk kedua kalinya, Anggur yang diambilkan Abdullah itu tidak manis.
Melihat ketidakbecusan budaknya itu, Nuh bin Maryam pun menghardiknya,
“Kenapa engkau selalu membawakanku yang masih asam, bukankah buahnya banyak?!”
“Maaf, tuan. Saya tidak tahu mana yang manis dan mana yang asam.” Jawab Abdullah seadanya.
“Subhanallah! Dua bulan kamu di sini dan kamu tidak bisa membedakan mana yang manis dan mana yang tidak!”
“Sungguh, tuan. Saya tidak pernah mencicipinya sedikit pun.”
“Memang ada apa?”
Tanya Nuh bin Maryam.
“Saya tidak ingin menghianati tuan dan menyalahi perintah, sementara tuan hanya menugaskanku untuk menjaganya saja. Bukan untuk memakannya.”
Mendengar jawaban tersebut, Nuh bin Maryam terkagum-kagum akan kejujuran dan sikap amanah budaknya itu. Kemudian ia berkata,
“Keteguhan sikapmu telah membuatku tertarik. Aku hendak menuturkan sesuatu padamu, tapi harus engkau laksanakan.”
“Sudah kewajibanku untuk taat kepada Allah dan menjalankan perintahmu, tuan.”
Kemudian Nuh bin Maryam menuturkan perihal kebingungannya untuk memilihkan pasangan bagi putrinya itu.
“Aku memiliki seorang putri yang amat cantik. Sudah banyak orang yang melamarnya, mulai dari orang kaya, konglomerat sampai orang-orang terpandang. Namun hingga sekarang aku masih bingung dengan siapa ia hendak aku nikahkan. Aku ingin meminta pendapatmu tentang hal ini.”
“Tuanku, tentang hal ini, dijaman jahiliah orang-orang memilih asal, nasab, agama dan pangkat. Sementara orang Yahudi dan Nasrani lebih condong pada kecantikan dan ketampanan. Lalu dijaman Rasulullah yang dikedepankan adalah agama dan ketakwaannya, dan saat ini orang-orang lebih condong pada harta dan kekuasaan. Silahkan tuan pilih diantara kriteria itu.”
“Kalau begitu, aku memilih agama dan ketakwaan. Dan sekalian aku juga memilihmu untuk kunikahkan dengan putriku. Karena sungguh dalam dirimu ada agama dan ketakwaan.”
Mendengar jawaban tuannya yang demikian, Abdullah menjawab,
“Saya hanya seorang hamba sahaya berkulit hitam, tuanku. Yang dulu tuan beli dengan harta. Adakah pantas besanding dengan putri tuan, dan tentu saja putri tuan pun akan menolaknya.”
“Sudah, kamu ikut saya ke rumah.”
Jawab tuannya singkat.
Setelah sampai, sang kadi pun berkata kepada istrinya,
“Sungguh pemuda ini merupakan anak yang saleh dan bertakwa, aku ingin menikahkan putri kita dengannya. Bagaimana menurutmu?”
“Semuanya aku pasrahkan padamu. Tapi kalau begitu, tunggu, aku ingin menyampaikannya dulu kepada putri kita tentang rencana ini.”
Kemudian sang istri pun menemui putrinya dan menyampaikan rencana tersebut.
“Apa kehendak ibu dan ayah, aku ikut. Aku tidak ingin jadi anak yang durhaka.”
Mendengar itu, si istri pun kembali dan mengabarkannya kepada Nuh bin Maryam.
Akhir kisah, Nuh bin Maryam dengan segala keagungan dan kekayaanya menjatuhkan pilihannya pada seorang Abdullah yang hanya hamba sahaya belaka. Nuh bin Maryam lebih memilih kekayaan abadi (kesalehan dan ketakwaan) ketimbang mengedepankan kekayaan sementara (harta, pangkat dsb.)
“Sama kebun saja amanah, apa lagi sama perempuan” sederhananya seperti itu mungkin.(IM)
-Disarikan dari kitab an–Nawadir karya Syekh Ahmad Syihabuddin bin Salamah al-Qulyubi