Khaulah binti Tsa’labah, Perempuan yang mengadu kepada Nabi dan Dibela Allah
Baca Juga :
Adalah Khaulah binti Tsa’labah, seorang sahabat perempuan
yang memiliki paras cantik nan jelita. Ia diperistri oleh seorang laki-laki
bernama Aus bin As-Shamit.
Satu ketika sang suami, Aus bin
As-Shamit, melihat sang istri sedang melakukan shalat di rumahnya. Selama sang
istri dalam shalatnya Aus terus memandanginya dari arah belakang. Ia sungguh
terkesan dengan keindahan tubuh istrinya. Terlebih ketika Khaulah sedang
bersujud, bagian belakang tubuhnya membuat Aus menginginkan istrinya.
Maka ketika sang istri selesai dari shalatnya Aus mengajaknya untuk
melakukan hubungan suami istri, namun Khaulah menolak. Atas penolakan ini Aus
marah besar hingga akhirnya keluar kalimat yang menjadikan Khaulah tertalak.
Kepadanya dengan emosi Aus mengatakan, “Bagiku engkau laksana punggung ibuku!”
(Dalam tradisi masyarakat Arab kala itu, menyamakan istri dengan punggung ibu
suami adalah cara suami untuk menceraikan istrinya, red).
Syekh Nawawi Banten memiliki catatan tersendiri yang perlu
diketahui perihal perilaku seksnya Aus. Disebutkan bahwa Aus berhasrat terhadap
perempuan dan menginginkan menggaulinya dengan cara yang tidak semestinya
perempuan digauli. Karenanya Khaulah menolak permintaannya itu. Atas penolakan
ini Aus marah dan mengatakan, “Bila kamu keluar dari rumah sebelum aku
melakukannya denganmu, maka bagiku engkau seperti punggung ibuku.”
Usai mengucapkan kalimat itu Aus menyesalinya. Ia paham bahwa dengan
kalimat seperti itu sama saja ia menceraikan istrinya. Pada saat itu, di masa
Jahiliyah, belum ada hukum dhihar. Kalimat dhihar seperti itu masih dianggap
dan dihukumi sebagai talak.
Adapun Khaulah pun tak terima bila
ia dicerai oleh suaminya. Maka serta merta ia mendatangi Rasulullah. Kepada
beliau ia sampaikan, “Aus menikahiku saat aku masih gadis yang disukai banyak
lelaki. Kini setelah aku tua dan memiliki banyak anak, ia menyamakanku dengan
ibunya (baca: menceraikan). Aku memiliki anak-anak yang masih kecil. Kalau
mereka aku serahkan kepada Aus, mereka akan tersia-sia. Tapi kalau mereka aku
yang mengurus, mereka akan kelaparan.” Dengan aduan itu Khaulah
berharap agar Rasulullah tidak menghukumi talak atas hubungan perkawinannya
dengan Aus. Namun Rasulullah tetap menghukumi talak atas ucapan Aus tersebut.
Khaulah masih belum mau menerima. Ia bersikeras, “Rasul, demi Allah ia tidak
mengatakan kalimat talak. Dia itu bapaknya anak-anakku. Dia itu orang yang
paling aku cintai.” Namun Rasulullah tetap bersikeras menghukumi
talak atas Khaulah dan Aus. “Engkau haram baginya,” kata beliau. Tapi Khaulah
tetap tidak mau terima. Terjadilah perdebatan di antara keduanya. Khaulah
bersikeras untuk tidak mau dihukumi talak, sementara Rasulullah tetap dengan
pendiriannya.
Sebagaimana diketahui, bahwa setiap
kali ada permasalah yang disampaikan oleh para sahabat kepada Rasulullah, maka
beliau tidak akan menghukumi kecuali setelah adanya wahyu dari Allah. Pun
demikian dengan kasus Khaulah ini. Karena tidak ada wahyu yang turun menyangkut
kasus tersebut, maka beliau tetap menghukumi talak dan tidak menerima
permintaan Khaulah untuk memutuskan hukum yang lain. Melihat
kenyataan bahwa keinginannya tak akan dipenuhi oleh Rasulullah, Khaulah tak
berputus asa. Kepada Rasul ia katakan, “Baiklah, akan aku adukan masalah ini
kepada Allah!” Maka kemudian Khaulah menengadahkan kepalanya ke
arah langit. Dengan suara lantang ia berseru, “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu.
Turunkanlah solusi bagi masalahku ini melalui lisan Nabi-Mu!” Ia terus
mengadukan masalahnya kepada Allah. Di saat seperti itulah wajah
Rasulullah terlihat berubah. Kepada beliau turun ayat yang menghukumi bahwa
masalah Khaulah dan suaminya itu adalah masalah dhihar, bukan talak. Seorang
suami yang men-dhihar istrinya dan berkeinginan untuk mencabut ucapannya itu,
maka ia tidak boleh menggauli istrinya kecuali setelah memerdekakan seorang
budak. Bila tidak mampu memerdekakan budak, maka berpuasa selama dua bulan
berturut-turut. Dan bila tidak mampu, maka memberi makan kepada enam puluh
orang miskin.
Ayat dimaksud yang turun atas permasalah Khaulah ini adalah
ayat 1 – 4 dari surat Al-Mujadilah. Allah berfirman:
قَدْ سَمِعَ
اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ
وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (١) الَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ
أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا
مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (٢) وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ
مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤)
Artinya:
“Sungguh, Allah
telah mendengar ucapan perempuan yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad)
tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar
percakapan antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.
Orang-orang di antara kamu yang menzihar istrinya, (menganggap istrinya sebagai
ibunya, padahal) istri mereka itu bukanlah ibunya. Ibu-ibu mereka hanyalah
perempuan yang melahirkannya. Dan sesungguhnya mereka benar-benar telah
mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf, Maha Pengampun. Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik
kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepadamu, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. Maka
barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa
dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa tidak
mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih.”
Demikianlah Khaulah binti Tsa’labah. Perempuan dari
kalangan sahabat yang tidak saja mengadukan permasalahannya kepada Rasul tetapi
juga kepada Allah. Sahabat perempuan yang aduannya didengar dan dikabulkan oleh
Allah, dan karenanya terbentuklah hukum dhihar dalam syari’at Islam.
Kisah ini banyak ditulis oleh para ulama tafsir dalam berbagai kitab
mereka. Di antaranya oleh Syekh Nawawi Banten dalam kitab Al-Munȋr li Ma’ȃlimit
Tanzȋl (Beirut: Darul Fikr, 2007, II: 405). Imam Al-Qurthubi dalam
kiab tafsirnya Al-Jȃmi’ li Ahkȃmil Qur’ȃn menuturkan sebuah cerita. Satu saat
Sayidina Umar bin Khatab bersama beberapa orang berkendara menunggangi khimar.
Dalam perjalanannya mereka bertemu dengan Khaulah binti Tsa’labah. Khaulah
kemudian menghentikan perjalanan Umar bin Khatab dan teman-temannya.
Kepada khalifah kedua itu Khaulah kemudian memberikan banyak nasihat dan
didengarka dengan seksama oleh Umar. Ia berkata, “Wahai Umar, engkau dahulu
diundang dengan Umair, lalu kau dipanggil Umar, dan kini engkau diundang dengan
sebutan Amirul Mukminin. Takutlah engkau kepada Allah, wahai Umar! Sesungguhnya
orang yang yakin dengan kematian, maka ia takut kehilangan. Orang yang yakin
dengan hisab, ia takut pada azab.” Umar bin Khathab terus
mendengarkan nasihat Khaulah, hingga ada yang mengatakan kepadanya, “Wahai
Amirul Mukminin, apakah engkau berhenti hanya untuk mendengarkan ucapan
perempuan tua ini?”
Mendengar ucapan tersebut Umar bin Khathab menjawab, “Demi
Allah, seandainya perempuan ini menahanku dari awal hingga akhir siang, aku tak
akan berhenti mendengarkannya kecuali untuk melakukan shalat maktubah. Tidakkah
kalian mengenal siapa perempuan ini? Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah. Allah
telah mendengarkan ucapannya dari atas tujuh langit. Bila Tuhan semesta alam
mau mendengarkan ucapannya, pantaskah bila Umar tak mau mendengarnya?” (Lihat:
Muhammad Al-Qurthubi, Al-Jȃmi’ li Ahkȃmil Qur’ȃn, [Kairo: Darul Hadis, 2010,
jil IX, juz XVII: 223). Wallahu a’lam.